Jumat, 25 Desember 2009

* Kami (Rohingya) Tak Ingin Merdeka


52/XXI 22 Februari 1992
Kami tak ingin merdeka
Wawancara tempo dengan sekjen organisasi solidaritas rohingya sayedur rahman tentang perjuangan dan cita-cita suku rohingya.
SECARA fisik, mereka memang lebih dekat ke Bangladesh daripada ke Myanmar. Berkulit hitam dan mata lebar. Bahasa mereka pun dekat dengan bahasa Bengali, dan mereka muslim. Sedangkan etnis-etnis lain di Myanmar berkulit kuning dan bermata sipit. Umumnya mereka memeluk Budha. Namun, etnis Rohingya memang keturunan Bengali yang sudah tinggal di Arakan sejak berabad lalu. Ketika Inggris memberi kemerdekaan pada Burma tahun 1948, Arakan menjadi salah satu provinsi negara merdeka itu. Orang-orang Rohingya pun merasa menjadi sebagian dari negara kesatuan Burma. Ketika Jenderal Ne Win mengambil alih kekuasaan dari U Nu, 1962, Burma jatuh ke pemerintahan militer. Mulai saat itulah muncul gerakan-gerakan dari minoritas untuk memperoleh wilayah otonom karena Ne Win memperlakukan mereka tidak adil dibandingkan dengan mayoritas etnis Burma. Juga, etnis Rohingya merasa perlu memperoleh hak otonomi itu. Untuk memperjuangkan hak tersebut, ketika itu lahir dua gerakan: Organisasi Solidaritas Rohingya dan Front Islam Rohingya Arakan. Pemerintah Rangoon waktu itu menganggap remeh dua gerakan ini, karena memang lemah. Kini pun etnis Rohinga jumlahnya hanya sekitar 5% dari seluruh warga Myanmar yang 40 juta itu. Baru dua tahun terakhir ini, dua gerakan itu mulai bersenjata modern dan berani menyerang tentara Myanmar, terutama Organisasi Solidaritas yang didirikan dan dipimpin oleh dr. Mohammad Yunus, dan sehari-hari dipimpin oleh Sekjen Sayedur Rahman. Karena aksi-aksi inilah, antara lain, tentara Myanmar dikirim ke Arakan untuk menumpas gerakan Rohingya. Warga sipil banyak yang dituduh menjadi kaki tangan gerakan itu dan ditangkapi. Inilah awal terjadinya pengungsian, awal tahun lalu. Arus pengungsian menjadi besar karena tentara Myanmar makin hari makin brutal. Sebenarnya, Organisasi Solidaritas hanya beranggotakan 6.000 mujahidin, dan di antaranya hanya 600 personel yang bersenjata. Kini, Solidaritas, yang mempunyai perwakilan di berbagai negara Arab dan Muangthai, mencoba menarik simpati dunia melalui penyebaran informasi tentang usaha perjuangan rakyat Rohingya. Markas besarnya di Bangladesh, dan biasanya berpindah-pindah kota. Kini markas itu berada di sebuah kawasan elite di Chittagong, kota terbesar kedua setelah Dacca. Di sebuah rumah mewah berpagar tinggi, dengan pintu gerbang besi berwarna hitam yang dijaga dua orang satpam, Sekjen Solidaritas Sayedur Rahman berkantor. Ia mewakili ketuanya, dr. Mohammad Yunus, yang tengah berada di salah satu kubu Solidaritas di perbatasan. Rabu dua pekan lalu, Sayedur Rahman menerima koresponden TEMPO Yuli Ismartono untuk sebuah wawancara. Ruang kerja Sayedur Rahman, yang dipenuhi lambang Solidaritas dalam bahasa Bengali dan Arab itu, dilengkapi pula dengan pesawat telepon, mesin teleks, dan facsimile. Ia mengenakan sarung dan peci putih, bukannya seragam hijau dan menyandang AK47 yang biasa ia kenakan di lapangan. Bapak enam anak berusia 44 tahun itu menjawab semua pertanyaan dengan jelas. Jenggotnya yang panjang ikut bergerak-gerak bila ia berbicara. Ia tak setuju dengan perubahan nama Burma dan ibu kota Rangoon menjadi Myanmar dan Yangoon. Ia tetap menyebut nama negara dan ibu kotanya dengan nama lama. Berikut petikan wawancara itu. Apa sebenarnya cita-cita Organisasi Solidaritas dan bangsa Rohingya. Membentuk negara Islam yang merdeka? Tujuan kami adalah memperoleh hak otonomi, hak demokrasi, kebebasan beragama dalam sebuah negara bagian dari negara persatuan Burma. Bukan sebagai negara merdeka. Banyak orang salah mengerti cita-cita kami ini, menuduh bahwa kami ingin memisahkan diri. Ini tidak mungkin tercapai, karena kami adalah kelompok minoritas, seperti kelompok minoritas lainnya di Burma. Itu semua kami perjuangkan karena hak-hak minoritas tak dihargai oleh rezim militer di Rangoon. Dalam perjuangan itu, kami, kelompok minoritas, harus bersatu agar berhasil. Pernahkah dilakukan pendekatan dengan pemerintah Yangoon yang sekarang untuk membicarakan kehendak etnis Rohingya? Jika mereka tidak bersedia mengakui kami sebagai warga negara, mana mungkin mereka mau berunding dengan kami? Mereka menolak berbicara dengan kami meskipun kami sudah mencoba beberapa kali. Pernah sekali tercapai pengertian dengan pemerintah Rangoon ketika U Nu berkuasa, tahun 1950-an. Bahkan, awal 1960-an, pernah ada siaran bahasa Rohingya di siaran radio Burma selama dua jam sehari. Tapi itu cuma bertahan beberapa bulan. Di bawah pemerintahan Jenderal Ne Win, keadaan kami di Arakan makin buruk. Pernah ada usaha untuk mendata bangsa Rohingya, tapi setelah 1982, kami dicap imigran gelap. Seolah bangsa Rohingya tak ada di muka bumi ini. Mereka bilang, "Sebenarnya kalian adalah orang Bangladesh. Wajah kalian sama dengan orang Bangladesh. Jadi, kalian harus kembali ke negerimu sendiri. Kalian bukan warga Burma." Jika demikian, apakah Anda optimistis perjuangan Organisasi Solidaritas akan berhasil? Tentu. Sejak mujahidin kami mulai menjalankan operasi militer dua tahun lalu, kami belum pernah kehilangan korban jiwa. Sebagai suatu organisasi, Solidaritas kini lebih teratur, tujuannya lebih terarah, dan memiliki ideologi serta strategi yang terencana. Pemuda kami terlatih, dan rakyat kami sadar akan hak-hak mereka. Itulah sebabnya kami berani melakukan penyerangan, sehingga tentara Burma perlu meningkatkan operasi melawan kami. Sekarang adalah waktu tepat untuk memulai perang gerilya, sebab seluruh dunia menentang mereka. Termasuk rakyatnya sendiri. Apa strategi Solidaritas di lapangan? Kami menyerang konvoi dan pospos militer. Pokoknya, kami melakukan gerakan-gerakan subversif untuk mengguncang keamanan setempat. Tujuan kami, memaksa mereka bertemu dan berunding dengan kami. Selama hal itu belum tercapai, kami tetap melakukan kegiatan tersebut. Anda yakin mujahidin Solidaritas mampu mengalahkan tentara Myanmar di perbatasan Bangladesh? Kami menduga kekuatan mereka tak lebih dari 20.000 personel. Bukan 75.000 seperti yang sering diberitakan koran. Mungkin jumlah mujahidin kami kecil, hanya 600 orang. Namun, pendukung sipil di antara rakyat Arakan ada dua juta orang. Kami mengharapkan dalam waktu dekat kami memiliki persenjataan lengkap. Kini senjata yang kami miliki cuma senapan AK47 dan M16. Sementara itu, warga Arakan yang tetap tinggal atau yang kembali dari pengungsian sudah kami beri orientasi politik agar tetap mendukung kami. Jadi, kami mengharapkan perjuangan kami akan berhasil bukan saja melalui kampanye militer, tetapi juga lewat gerakan politik. Benarkah para pemuda Solidaritas dilatih di Pakistan? Ya. Mereka dikirim ke Karachi untuk dilatih selama tiga sampai enam bulan. Sebagian juga dilatih di Afghanistan bersama kaum mujahidin kelompok Gulbuddin Hekmatyar. Tapi kebanyakan dilatih di Arakan oleh para pelatih kami, para pensiunan perwira tentara Burma. Bagaimana dengan bantuan dari kelompok fundamentalis Jamaat Al Islami di Bangladesh? Kami bukan saja berhubungan dengan Jamaat Al Islami, tapi juga dengan kelompok lainnya. Tujuan kami adalah memperoleh dukungan politik dan material dari rakyat dan pemerintahan Bangladesh. Benarkah Anda menerima bantuan senjata dari Pakistan? Itu tidak benar sama sekali. Tidak ada yang memberi bantuan senjata. Para sahabat memberi kami dana. Antara lain dari hampir satu juta bangsa Rohingya yang menetap dan bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Kami hanya menerima sumbangan dari organisasi swasta. Bukan dari pemerintah. Sebab, jika ada bantuan dari satu pemerintah mana pun, kami tidak akan sepayah ini. Jika begitu, persenjatan Solidaritas dari mana saja? Kami beli sendiri dari berbagai sumber di luar, seperti Kamboja atau dari suku Karen, melalui perantara. Apakah Solidaritas menjalin hubungan dengan kelompok pemberontak Myanmar lainnya, suku Karen dan Kachin, misalnya? Ya. Kami memang mencoba, tapi mereka tak mengakui kami. Entahlah. Mungkin karena kami kelompok kecil sehingga kurang dianggap cukup kuat. Namun, gara-gara berita pengungsi Rohingya dan penyerangan kami di Arakan, wakil-wakil Suku Karen dan Hmong telah menghubungi kami. Lalu, mengapa sampai terbetik berita Solidaritas bekerja sama dengan suku Karen menyerang tentara Myanmar di daerah delta Sungai Irrawadi tahun lalu? Itu tak pernah terjadi. Waktu itu, Profesor Mohammad Zachariah, bekas dosen biologi yang kini memimpin mujahidin Solidaritas, memang bertemu dengan para pemimpin Karen dan Kacin di kubu mereka. Namun, dalam kesempatan itu belum ada kesepakatan untuk bekerja sama. Pihak Suku Karen dan Kachin masih mencurigai tujuan kami. Mereka menganggap kami adalah kelompok muslim radikal fundamentalis yang ingin mendirikan negara Islam, sehingga membahayakan tujuan mereka. Padahal, kami bukan kelompok radikal. Nama kami saja tak mengandung kata Islam. Kami sedang berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami bukan kelompok Islam radikal. Bagaimana pendapat Anda tentang Aung San Suu Kyi? Jika ia berkuasa, demokrasi akan kembali di Burma, dan saya yakin nasib kami pun akan membaik. Pada Pemilu 1990, kami mendukung calon-calon dari partainya, Partai Liga Demokrasi.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1992/02/22/LN/mbm.19920222.LN7410.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar