Sabtu, 26 Desember 2009

Rekonsiliasi Nasional untuk Burma

33/XXXVI 08 Oktober 2007
Rekonsiliasi Nasional untuk Burma

Priyambudi Sulistiyanto
# Pengajar pada School of Political and International Studies Flinders University, Adelaide

Mata dunia kembali terpaku pada Burma. Rezim militer junta menembaki para demonstran—sebagian besar biksu Buddha— dengan membabi buta, pekan lalu. Perserikatan Bangsa-Bangsa serta sebagian besar negara di dunia mengutuk kebiadaban itu. Duta khusus PBB Ibrahim Gambari tiba di Burma pada 29 September lalu. Tujuannya mencari penyelesaian damai serta bertemu dengan pemimpin militer nomor satu Burma, Jenderal Than Shwe. Dia juga menemui pemimpin oposisi dari Liga Nasional Demokrasi Aung San Suu Kyi. Cina mendapat banyak sorotan karena negara ini dianggap salah satu kunci dan memiliki pengaruh kuat untuk menekan rezim militer Burma.

Di dalam negeri, gerakan damai makin luas dan mendapat dukungan luas dari rakyat Burma. Pertanyaannya, apakah transisi demokrasi akan terjadi di Burma. Sejarah politik di negeri ini penuh tragedi berdarah dan pergolakan. Bapak bangsa Jenderal Aung San (ayah Aung San Suu Kyi) beserta enam anggota kabinet dibunuh pada 1947. Politikus sipil U Nu segera mengambil alih dan memproklamasikan kemerdekaan pada 1948. Di bawah U Nu, Burma memilih demokrasi parlementer yang penuh ketidakstabilan politik pada dekade 1950.

Perang sipil melawan etnis Karen dan etnis minoritas lain mendorong masuknya pihak militer pimpinan Jenderal Ne Win ke kancah politik pada 1958-1960. Jenderal ini mengudeta U Nu pada 1962. Sejak saat itu Burma dikuasai militer.

Ne Win membawa negara itu ke jalan sosialisme gaya Burma yang mengisolasi diri dari dunia luar—disertai meluasnya perasaan ketakutan pada dunia internasional. Cara berpikir ini dikembangkan oleh kelompok militer. Jarang sekali ada perwira militer yang belajar ke luar negeri. Ini berbeda dengan kelompok militer di Thailand, Indonesia, dan Filipina, yang membuka hubungan dengan kalangan intelektual dan dunia internasional.

Pendek kata, kelompok militer di Burma merasa mereka yang menentukan keutuhan dan stabilitas politik Burma. Mereka tidak bersedia membagi atau melimpahkan kekuasaan ke pihak lain. Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi menang dalam pemilu demokratis pada 1990. Tapi pihak militer tidak bersedia mengakuinya dan menyerahkan mandat pemerintahan ke NLD. Keengganan pihak militer ini menjadi semacam doktrin militer yang dipegang para petinggi militer pasca-Ne Win.

Setelah berkuasa empat dekade, rezim militer makin sulit lengser dari politik. Hampir semua posisi strategis—dari pemerintahan, parlemen, lembaga hukum, media, bisnis, hingga perdagangan—mereka kuasai. Ketika melakukan riset di Burma pada akhir 1997, saya menemukan pihak militer menguasai secara total semua jalur transportasi, perhotelan, dan perbelanjaan di kota besar seperti di Rangoon dan Mandalay. Para investor asing harus berhubungan dengan pihak militer untuk melancarkan dan mengamankan usahanya di Burma.

Karena itu saya merasa pesimistis transisi demokrasi akan terwujud di Burma dalam waktu dekat. Pertama, pihak militer akan menolak keras mundur dari politik. Dan belum ada tanda-tanda konkret perpecahan di dalam tubuh militer. Kalaupun ada ketegangan, ujung-ujungnya jenderal lainnya akan mengambil alih kekuasaan. Misalnya, jika pemimpin militer Than Shwe digusur, Jenderal Maung Aye akan menggantikannya. Jika gagal juga, jenderal lain akan muncul, dan seterusnya. Kudeta mungkin terjadi, tapi dari kalangan mereka sendiri.

Kedua, kekuatan oposisi belum solid benar. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi memang terkenal dan diakui sebagai Nelson Mandela-nya Burma. Namun infrastruktur politik oposisi sipil telah dihancurkan oleh pihak militer sejak pemilu 1990. Kebanyakan tokoh sipil sudah tua dan berada di penjara. Yang muda belum siap berpolitik secara profesional. Akibatnya, Aung San Suu Kyi seperti sendirian dan hanya menjadi tokoh pemersatu bagi kelompok oposisi di Burma. Tidak ada ruang politik untuk mempersiapkan politikus profesional.

Ketiga, tekanan internasional amat terbatas pengaruhnya, termasuk peran Cina, PBB, dan ASEAN. Pihak militer di Burma menolak intervensi pihak asing untuk urusan dalam negeri Burma. Sikap ini selalu menjadi pegangan mereka. Penerapan sanksi ekonomi yang selama ini dilakukan beberapa negara Barat tidak membawa hasil, malah kian menyusahkan rakyat. Intervensi militer internasional seperti dilakukan Amerika Serikat di Irak atau Afganistan akan ditentang komunitas internasional.

Jalan terbaik adalah mempertemukan semua komponen politik yang bersengketa, seperti pihak militer, NLD, etnis minoritas, tokoh politik eksil, biksu, dan mahasiswa, dalam sebuah forum rekonsiliasi nasional yang dikelola oleh mereka sendiri namun difasilitasi oleh komunitas internasional. Indonesia bisa ikut berperan serta secara konkret karena Indonesia (terutama pihak militernya) memiliki perjalanan politik yang mirip dengan di Burma.

Forum rekonsiliasi ini dapat menjadi solusi menyelesaikan krisis politik secara damai. Bentuknya bisa apa saja, yang penting merupakan hasil kesepakatan mereka, dan bukan tekanan dari pihak luar.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2007/10/08/KL/mbm.20071008.KL125221.id.html

* Penangkapan Khin Nyunt


Jurus Gilas ala Junta
Khin Nyunt berupaya menggulirkan reformasi di Myanmar. Namun, belum juga cita-citanya terpenuhi, dia telah dipentalkan dari kursi perdana menteri.

Di Bandar Udara Mandalay, Jenderal Khin Nyunt dijemput oleh sekumpulan perwira menengah militer. Dia kembali ke Yangoon, ibu kota Myanmar, pada hari itu, Senin malam pekan lalu. Dari Mandalay—sekitar 600 kilometer sebelah utara Yangoon—para perwira militer membawa pulang Khin Nyunt ke rumah dinas Perdana Menteri Myanmar di Yangoon. Saat dia tiba, rumah itu telah dirubung tentara. Begitu pula rumah anaknya serta beberapa anggota keluarga terdekat sang jenderal.

Di sudut lain ibu kota, markas intelijen militer yang dikepalai Khin digerebek petugas. Sejumlah perwira intelijen militer junior lain dibekuk di Yangoon maupun di sebuah lokasi lain dekat perbatasan Cina. Satu hari setelah Khin dicokok di Mandalay, junta Myanmar memaklumatkan: "Khin diizinkan pensiun karena alasan kesehatan." Maklumat itu diteken oleh pemimpin tertinggi junta, Jenderal Senior Than Shwe. Junta lantas menunjuk Letnan Jenderal Soe Win, bekas Kepala Pertahanan Udara Myanmar, sebagai pengganti.

Pencopotan Khin Nyunt dari kursi perdana menteri adalah klimaks pertarungan kubu moderat versus garis keras di tubuh junta militer Myanmar. Masa pemerintahan Khin singkat saja. Dia menjadi Perdana Menteri Myanmar pada Agustus 2003. Dosa Khin yang terbesar di mata junta militer adalah menggulirkan dan memberi ruang kepada gerakan reformasi di Myanmar.

Dia juga berani "melawan" junta dengan merespons tekanan internasional agar membawa Myanmar ke arah demokrasi. Untuk itu, dia menyodorkan Jalan Menuju Demokrasi (lihat boks Gara-gara Tujuh Resep)—sebuah konsep yang dia rancang untuk menggulirkan reformasi di Myanmar, antara lain gagasan konvensi nasional perumusan konstitusi baru Myanmar.

Apa boleh buat, proyek yang digagas Khin ini ibaratnya jauh panggang dari api. Konvensi hanya diikuti wakil yang ditentukan junta tanpa partisipasi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Partai pemenang pemilihan umum 1990 yang dianulir junta militer ini memboikot konvensi karena pemimpin mereka, Aung San Suu Kyi, belum dibebaskan. Secara keseluruhan, konsep Jalan Menuju Demokrasi mengundang cibiran, terutama karena tak menyinggung pembebasan Suu Kyi, yang masih berstatus tahanan rumah.

Tapi di kalangan sejumlah diplomat asing, bekas Perdana Menteri Myanmar ini dianggap bisa membuka pintu dialog dengan junta militer. Razali Ismail, utusan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan, termasuk yang berpendapat demikian. Profil Khin sebagai jenderal moderat yang pro kepada perubahan juga diakui U Lwin, juru bicara NLD. Tapi U Lwin menekankan: "Khin Nyunt mustahil bisa menerapkan ide-ide rekonsiliasinya karena posisinya relatif lemah di lingkaran rezim."

Gagasan-gagasan reformasinya itu, walau tak bisa diterapkan, membikin gerah junta militer. Khin dinilai kebablasan meladeni oposisi prodemokrasi. Karena itu, dalam beberapa bulan terakhir, Jenderal Than Shwe mulai mempreteli kekuatan Khin agar menjadi tidak telanjur populer di kalangan militer. Jajaran intelijen akhirnya menjadi satu-satunya tumpuan Khin.

Namun, kedekatan dia dengan kalangan intelijen ini juga menuai getah bagi Khin. Bulan lalu, Panglima Militer Maung Aye, orang kedua setelah Than Shwe, menggelar penumpasan korupsi di Muse, sebuah kota Myanmar di perbatasan Cina. Sekitar 20 perwira intelijen yang terlibat bisnis ditangkap. Dua di antaranya terbukti punya rekening bank ilegal di Cina.

Walhasil, sepak terjang Khin Nyunt akhirnya "dikoreksi" dengan hadirnya Soe Win. Berusia sekitar 56 tahun, pria ini punya riwayat sebagai penganut garis keras yang berurusan dengan gerakan prodemokrasi. Soe Win disebut-sebut sebagai "arsitek" bentrokan antara massa propemerintah dan massa Suu Kyi yang berpawai pada Mei tahun lalu. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Richard Boucher yakin Soe Win terlibat langsung dalam rencana serangan brutal terhadap Suu Kyi dan konvoi pawainya pada 30 Mei 2003.

Boucher menunjuk laporan hak asasi manusia Departemen Luar Negeri pada April lalu. "Rekaman video dengan jelas menunjukkan peran para provokator pemerintah dalam serangan terencana terhadap Suu Kyi," katanya. Menurut versi junta, tragedi itu menewaskan 35 orang. Tapi para aktivis prodemokrasi mengklaim angka yang jauh lebih tinggi: lebih dari 100 orang tewas. Dan sehari setelah bentrokan pada April itu, junta militer memberlakukan "penahanan perlindungan" atas Suu Kyi. Dan Suu Kyi pun kembali mendekam sebagai tahanan rumah.

Alhasil, setelah Myanmar ganti pemimpin, bukan saja nasib Suu Kyi bakal kian suram. Para aktivis prodemokrasi memastikan, gagasan-gagasan tentang reformasi akan kembali terkubur dalam-dalam. Bahkan dari Thailand—tetangga Myanmar—suara pesimistis tentang Soe Wein menguar. Kraisak Chunhavan, Ketua Komite Urusan Luar Negeri Senat Thailand, berkata begini: "Ini penolakan terang-terangan (Myanmar) terhadap tuntutan komunitas dunia untuk perbaikan hak asasi manusia."

Yanto Musthofa (Bangkok Post, Reuters, BBC)

Gara-gara Tujuh Resep

Inilah tujuh langkah yang disodorkan Khin Nyunt sebagai tuntunan menuju demokrasi:

* Menyelenggarakan Konvensi Nasional yang terbengkalai sejak 1996.
* Hasilnya akan diterapkan secara bertahap berupa sistem demokrasi yang murni dan disiplin.
* Akan disusun konstitusi baru sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan Konvensi Nasional.
* Penetapan konstitusi melalui referendum nasional.
* Penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil untuk Pyithu Hluttaw (badan legislatif) menurut konstitusi baru.
* Penyelenggaraan sidang Hluttaws yang dihadiri para anggota Hluttaw menurut konstitusi baru.
* Membangun satu bangsa yang modern, maju, dan demokratis oleh para pemimpin negara yang dipilih Hluttaw, dan pemerintah serta organ-organ sentral lain yang dibentuk oleh Hluttaw.

Reformasi Sepenggal Jalan

30 Mei 2003: Pendukung Aung San Suu Kyi dalam rangkaian kampanye nasional Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) diserang massa propemerintah. Bentrokan meletus, menewaskan 35 orang.

31 Mei 2003: Suu Kyi ditangkap, kantor-kantor Partai NLD ditutup.

1 Juni 2003: Junta militer memulangkan Suu Kyi ke Yangoon.

4 Juni 2003: PBB menuntut pembebasan Suu Kyi.

9 Juni 2003: Setelah bertemu dengan Suu Kyi, utusan Sekjen PBB Razali Ismail memastikan peraih Hadiah Nobel Perdamaian itu segar bugar.

20 Juni 2003: Suu Kyi ditahan di penjara militer.

22 Juli 2003: 91 tahanan politik dibebaskan.

25 Agustus 2003: Khin Nyunt menjadi perdana menteri; mengusulkan konvensi konstitusi pada 2004.

26 September 2003: Suu Kyi pulang, menjadi tahanan rumah.

24 November 2003: Lima tokoh senior NLD dibebaskan dari tahanan rumah setelah kunjungan Razali.

1 April 2004: Junta menyatakan Suu Kyi akan dibebaskan pada 17 Mei, sebelum konvensi konstitusi.

3 April 2004: Junta militer mengingkari janji.

16 April 2004: Kantor-kantor oposisi dibuka kembali.

17 Mei 2004: Konvensi konstitusi dimulai, diboikot NLD. Konvensi molor hingga Juli.

18 Oktober 2004: Khin Nyunt digusur dari kursi perdana menteri.

Sumber: BBC, AFP, Reuters
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/10/25/LN/mbm.20041025.LN92807.id.html

Jumat, 25 Desember 2009

* Kami (Rohingya) Tak Ingin Merdeka


52/XXI 22 Februari 1992
Kami tak ingin merdeka
Wawancara tempo dengan sekjen organisasi solidaritas rohingya sayedur rahman tentang perjuangan dan cita-cita suku rohingya.
SECARA fisik, mereka memang lebih dekat ke Bangladesh daripada ke Myanmar. Berkulit hitam dan mata lebar. Bahasa mereka pun dekat dengan bahasa Bengali, dan mereka muslim. Sedangkan etnis-etnis lain di Myanmar berkulit kuning dan bermata sipit. Umumnya mereka memeluk Budha. Namun, etnis Rohingya memang keturunan Bengali yang sudah tinggal di Arakan sejak berabad lalu. Ketika Inggris memberi kemerdekaan pada Burma tahun 1948, Arakan menjadi salah satu provinsi negara merdeka itu. Orang-orang Rohingya pun merasa menjadi sebagian dari negara kesatuan Burma. Ketika Jenderal Ne Win mengambil alih kekuasaan dari U Nu, 1962, Burma jatuh ke pemerintahan militer. Mulai saat itulah muncul gerakan-gerakan dari minoritas untuk memperoleh wilayah otonom karena Ne Win memperlakukan mereka tidak adil dibandingkan dengan mayoritas etnis Burma. Juga, etnis Rohingya merasa perlu memperoleh hak otonomi itu. Untuk memperjuangkan hak tersebut, ketika itu lahir dua gerakan: Organisasi Solidaritas Rohingya dan Front Islam Rohingya Arakan. Pemerintah Rangoon waktu itu menganggap remeh dua gerakan ini, karena memang lemah. Kini pun etnis Rohinga jumlahnya hanya sekitar 5% dari seluruh warga Myanmar yang 40 juta itu. Baru dua tahun terakhir ini, dua gerakan itu mulai bersenjata modern dan berani menyerang tentara Myanmar, terutama Organisasi Solidaritas yang didirikan dan dipimpin oleh dr. Mohammad Yunus, dan sehari-hari dipimpin oleh Sekjen Sayedur Rahman. Karena aksi-aksi inilah, antara lain, tentara Myanmar dikirim ke Arakan untuk menumpas gerakan Rohingya. Warga sipil banyak yang dituduh menjadi kaki tangan gerakan itu dan ditangkapi. Inilah awal terjadinya pengungsian, awal tahun lalu. Arus pengungsian menjadi besar karena tentara Myanmar makin hari makin brutal. Sebenarnya, Organisasi Solidaritas hanya beranggotakan 6.000 mujahidin, dan di antaranya hanya 600 personel yang bersenjata. Kini, Solidaritas, yang mempunyai perwakilan di berbagai negara Arab dan Muangthai, mencoba menarik simpati dunia melalui penyebaran informasi tentang usaha perjuangan rakyat Rohingya. Markas besarnya di Bangladesh, dan biasanya berpindah-pindah kota. Kini markas itu berada di sebuah kawasan elite di Chittagong, kota terbesar kedua setelah Dacca. Di sebuah rumah mewah berpagar tinggi, dengan pintu gerbang besi berwarna hitam yang dijaga dua orang satpam, Sekjen Solidaritas Sayedur Rahman berkantor. Ia mewakili ketuanya, dr. Mohammad Yunus, yang tengah berada di salah satu kubu Solidaritas di perbatasan. Rabu dua pekan lalu, Sayedur Rahman menerima koresponden TEMPO Yuli Ismartono untuk sebuah wawancara. Ruang kerja Sayedur Rahman, yang dipenuhi lambang Solidaritas dalam bahasa Bengali dan Arab itu, dilengkapi pula dengan pesawat telepon, mesin teleks, dan facsimile. Ia mengenakan sarung dan peci putih, bukannya seragam hijau dan menyandang AK47 yang biasa ia kenakan di lapangan. Bapak enam anak berusia 44 tahun itu menjawab semua pertanyaan dengan jelas. Jenggotnya yang panjang ikut bergerak-gerak bila ia berbicara. Ia tak setuju dengan perubahan nama Burma dan ibu kota Rangoon menjadi Myanmar dan Yangoon. Ia tetap menyebut nama negara dan ibu kotanya dengan nama lama. Berikut petikan wawancara itu. Apa sebenarnya cita-cita Organisasi Solidaritas dan bangsa Rohingya. Membentuk negara Islam yang merdeka? Tujuan kami adalah memperoleh hak otonomi, hak demokrasi, kebebasan beragama dalam sebuah negara bagian dari negara persatuan Burma. Bukan sebagai negara merdeka. Banyak orang salah mengerti cita-cita kami ini, menuduh bahwa kami ingin memisahkan diri. Ini tidak mungkin tercapai, karena kami adalah kelompok minoritas, seperti kelompok minoritas lainnya di Burma. Itu semua kami perjuangkan karena hak-hak minoritas tak dihargai oleh rezim militer di Rangoon. Dalam perjuangan itu, kami, kelompok minoritas, harus bersatu agar berhasil. Pernahkah dilakukan pendekatan dengan pemerintah Yangoon yang sekarang untuk membicarakan kehendak etnis Rohingya? Jika mereka tidak bersedia mengakui kami sebagai warga negara, mana mungkin mereka mau berunding dengan kami? Mereka menolak berbicara dengan kami meskipun kami sudah mencoba beberapa kali. Pernah sekali tercapai pengertian dengan pemerintah Rangoon ketika U Nu berkuasa, tahun 1950-an. Bahkan, awal 1960-an, pernah ada siaran bahasa Rohingya di siaran radio Burma selama dua jam sehari. Tapi itu cuma bertahan beberapa bulan. Di bawah pemerintahan Jenderal Ne Win, keadaan kami di Arakan makin buruk. Pernah ada usaha untuk mendata bangsa Rohingya, tapi setelah 1982, kami dicap imigran gelap. Seolah bangsa Rohingya tak ada di muka bumi ini. Mereka bilang, "Sebenarnya kalian adalah orang Bangladesh. Wajah kalian sama dengan orang Bangladesh. Jadi, kalian harus kembali ke negerimu sendiri. Kalian bukan warga Burma." Jika demikian, apakah Anda optimistis perjuangan Organisasi Solidaritas akan berhasil? Tentu. Sejak mujahidin kami mulai menjalankan operasi militer dua tahun lalu, kami belum pernah kehilangan korban jiwa. Sebagai suatu organisasi, Solidaritas kini lebih teratur, tujuannya lebih terarah, dan memiliki ideologi serta strategi yang terencana. Pemuda kami terlatih, dan rakyat kami sadar akan hak-hak mereka. Itulah sebabnya kami berani melakukan penyerangan, sehingga tentara Burma perlu meningkatkan operasi melawan kami. Sekarang adalah waktu tepat untuk memulai perang gerilya, sebab seluruh dunia menentang mereka. Termasuk rakyatnya sendiri. Apa strategi Solidaritas di lapangan? Kami menyerang konvoi dan pospos militer. Pokoknya, kami melakukan gerakan-gerakan subversif untuk mengguncang keamanan setempat. Tujuan kami, memaksa mereka bertemu dan berunding dengan kami. Selama hal itu belum tercapai, kami tetap melakukan kegiatan tersebut. Anda yakin mujahidin Solidaritas mampu mengalahkan tentara Myanmar di perbatasan Bangladesh? Kami menduga kekuatan mereka tak lebih dari 20.000 personel. Bukan 75.000 seperti yang sering diberitakan koran. Mungkin jumlah mujahidin kami kecil, hanya 600 orang. Namun, pendukung sipil di antara rakyat Arakan ada dua juta orang. Kami mengharapkan dalam waktu dekat kami memiliki persenjataan lengkap. Kini senjata yang kami miliki cuma senapan AK47 dan M16. Sementara itu, warga Arakan yang tetap tinggal atau yang kembali dari pengungsian sudah kami beri orientasi politik agar tetap mendukung kami. Jadi, kami mengharapkan perjuangan kami akan berhasil bukan saja melalui kampanye militer, tetapi juga lewat gerakan politik. Benarkah para pemuda Solidaritas dilatih di Pakistan? Ya. Mereka dikirim ke Karachi untuk dilatih selama tiga sampai enam bulan. Sebagian juga dilatih di Afghanistan bersama kaum mujahidin kelompok Gulbuddin Hekmatyar. Tapi kebanyakan dilatih di Arakan oleh para pelatih kami, para pensiunan perwira tentara Burma. Bagaimana dengan bantuan dari kelompok fundamentalis Jamaat Al Islami di Bangladesh? Kami bukan saja berhubungan dengan Jamaat Al Islami, tapi juga dengan kelompok lainnya. Tujuan kami adalah memperoleh dukungan politik dan material dari rakyat dan pemerintahan Bangladesh. Benarkah Anda menerima bantuan senjata dari Pakistan? Itu tidak benar sama sekali. Tidak ada yang memberi bantuan senjata. Para sahabat memberi kami dana. Antara lain dari hampir satu juta bangsa Rohingya yang menetap dan bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Kami hanya menerima sumbangan dari organisasi swasta. Bukan dari pemerintah. Sebab, jika ada bantuan dari satu pemerintah mana pun, kami tidak akan sepayah ini. Jika begitu, persenjatan Solidaritas dari mana saja? Kami beli sendiri dari berbagai sumber di luar, seperti Kamboja atau dari suku Karen, melalui perantara. Apakah Solidaritas menjalin hubungan dengan kelompok pemberontak Myanmar lainnya, suku Karen dan Kachin, misalnya? Ya. Kami memang mencoba, tapi mereka tak mengakui kami. Entahlah. Mungkin karena kami kelompok kecil sehingga kurang dianggap cukup kuat. Namun, gara-gara berita pengungsi Rohingya dan penyerangan kami di Arakan, wakil-wakil Suku Karen dan Hmong telah menghubungi kami. Lalu, mengapa sampai terbetik berita Solidaritas bekerja sama dengan suku Karen menyerang tentara Myanmar di daerah delta Sungai Irrawadi tahun lalu? Itu tak pernah terjadi. Waktu itu, Profesor Mohammad Zachariah, bekas dosen biologi yang kini memimpin mujahidin Solidaritas, memang bertemu dengan para pemimpin Karen dan Kacin di kubu mereka. Namun, dalam kesempatan itu belum ada kesepakatan untuk bekerja sama. Pihak Suku Karen dan Kachin masih mencurigai tujuan kami. Mereka menganggap kami adalah kelompok muslim radikal fundamentalis yang ingin mendirikan negara Islam, sehingga membahayakan tujuan mereka. Padahal, kami bukan kelompok radikal. Nama kami saja tak mengandung kata Islam. Kami sedang berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami bukan kelompok Islam radikal. Bagaimana pendapat Anda tentang Aung San Suu Kyi? Jika ia berkuasa, demokrasi akan kembali di Burma, dan saya yakin nasib kami pun akan membaik. Pada Pemilu 1990, kami mendukung calon-calon dari partainya, Partai Liga Demokrasi.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1992/02/22/LN/mbm.19920222.LN7410.id.html

* Biarkan kyat menguap

Biarkan kyat menguap
Gelombang demonstrasi melanda beberapa wilayah di burma. bermula dari larangan penggunaan tiga jenis mata uang kyat yang dikenal juga sebagai demonetisasi. sekolah dan universitas ditutup.
KOTA Rangoon terasa lengang. Hanya beberapa toko kelontong yang buka, setelah ditutupnya semua sekolah dan kampus di Burma, Senin lalu. Sabtu sebelumnya, mahasiswa dari Universitas Rangoon dan Institut Teknologi Rangoon melakukan aksi unjuk rasa, melempari bis dan sedan yang lewat di depan kampus mereka. Gelombang demonstrasi yang kemudian meluas sampai ke beberapa wilayah lain bahkan menjangkau kota tua Mandalay di utara -- bermula dari larangan penggunaan tiga jenis mata uang kyat yang dikenal juga sebagai demonetisasi. Tak pelak lagi, beleid ini langsung menghantam ekonomi penduduk dan membuat mahasiswa meradang. Pemerintah menetapkan ketentuan bahwa hanya empat mata uang dengan nilai nominal 1, 5, 10, dan 15 kyat (15 kyat sama dengan 3.700 rupiah) yang boleh beredar. Ini berarti tiga mata uang yang bernilai lebih tinggi, yakni 25, 35, dan 75 kyat, bukan lagi alat tukar yang sah. Tanpa menghiraukan kerugian yang diderita penduduk -- pemotongan drastis itu ditetapkan tiba-tiba pemerintah masih berani menganakemaskan pegawai negeri dan kaum pensiunan. Mereka ini dinyatakan berhak menukarkan mata uang 25, 35, dan 75 kyat ke bank, sementara golongan penduduk lainnya tidak. Ini jelas lelucon yang tidak lucu, apalagi 80% dari uang yang beredar menguap begitu saja karenanya. Bagaimana mungkin? Semuanya bermula 10 Agustus lalu, ketika Ne Win, Ketua Partai Program Sosialis, menyerukan perlunya perbaikan ekonomi di depan sidang Komite Sentral Eksekutif. Maklum,'selama 25 tahun berkuasa, Burma boleh dibilang mengalami stagnasi ekonomi. Sebagai tindak lanjut, awal September lalu, Dewan Menteri menghapus semua larangan -- yang sudah berlaku selama 21 tahun -- yang mengatur perdagangan bebas untuk beras, jagung, dan kacang-kacangan. Dan ini diperkuat dengan keputusan yang sangat tidak populer itu, yakni menguapkan tiga mata uang. Tapi ini bukan yang pertama kali. Ne Win telah melakukan hal yang sama, 1985, ketika ia menarik dari peredaran mata uang 20, 50, dan 100 kyat (November 1985). Dan tindakan moneter serupa diperkenalkan Ne Win pertama kali tahun 1964, ketika ia baru dua tahun berkuasa. Untuk sementara, keadaan mereda, tapi bukan tidak mungkln aksi-aksi mahasiswa bisa menggoyahkan Ne Win. Sepanjang masa pemerintahannya, demonstrasi pekan lalu tercatat paling besar. Agar tidak meluas, Kementerian Pendidikan menutup sekolah dan kampus, serta memulangkan mahasiswa ke kampungnya masing-masing dengan kendaraan gratis. Ne Win, 76 tahun, menjalankan apa yang disebutnya "jalan Burma menuju sosialisme". Dengan alasan "berdikari", ia melakukan isolasi yang nyaris total. Burma, yang dulu terkenal dengan surplus beras, ekspor kayu jati, dan barang mineral (batu giok), kini ekonominya nyaris kocar-kacir. Bahkan termasuk negara di Asia yang rendah pertumbuhan ekonominya. Dampak kebijaksanaan Ne Win ini juga terasa di perbatasan Burma-Muangthai. Rak Tantisunthorn, Wakil Perdagangan Muangthai di Burma, menyebutkan bahwa para pedagang di wilayah perbatasan menderita kerugian sampai 40 juta baht (sekitar Rp 2 milyar. Menurut kalangan diplomat, Barat di Rangoon, tindakan Ne Win dimaksudkan untuk menghentikan beredarnya uang palsu di pasar gelap. Sekaligus juga menghantam penunggak pajak dan pemberontak di perbatasan Burma-Muangthai. Situasi di Rangoon kini terasa semakin tidak nyaman. "Keadaan yang lebih Darah bisa saja terjadi sewaktu-waktu," kata seorang pengamat. Masyarakat Burma kini cenderung melakukan barter. "Mereka tak percaya lagi pada nilai uang," kata seorang penduduk. Diduga kuat, tahun depan pemerintah bakal kelabakan memberi makan 38 juta penduduknya. Yulia S. Madjid, Laporan kantor-kantor berita

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1987/09/19/LN/mbm.19870919.LN32238.id.html

* Rambo saksi Kekejaman Junta Burma

Rambo Saksi Kekejaman Junta Burma
Selasa, 02 Oktober 2007 | 15:15 WIB

TEMPO Interaktif, Los Angeles: Bintang film Hollywood Sylvester Stallone mengaku menyaksikan korban kekejaman pemerintah junta militer Burma selama syuting film John Rambo terbaru di Thailand.

"Saya melihat korban selamat tanpa kaki, terkena ranjau darat, luka-luka yang dipenuhi belatung, dan telinga dipotong," katanya kepada AP kemarin. Ia menilai, kekejaman junta Burma lebih buruk ketimbang Vietnam atau Kamboja.

Aktor sekaligus sutradara berusia 61 tahun itu baru delapan hari pulang dari syuting film Rambo IV di sepanjang Sungai Salwin, perbatasan Thailand dan Burma. Syuting itu menghabiskan waktu enam bulan.


Film yang akan dirilis Januari tahun depan ini menggambarkan aksi John Rambo, veterang perang Vietnam, dalam mencari sukarelawan Kristen yang hilang di Burma. "Saya memotret junta militer yang kejam," ujar Stallone.

AP/Faisal Assegaf

Sumber: http://www.tempo.co.id/hg/luarnegeri/2007/10/02/brk,20071002-108826,id.html

* Perdana Mentri Khin Nyunt (korban Konspirasi?)


Khin Nyunt, Korban perang Bisnis Militer Myanmar

Senin malam, 19 Oktober lalu, pasukan tentara Myanmar mengambil posisi siap tempur didepan rumah Perdana Mentri Jendral Khin Nyunt di yangon. Penambahan pasukan juga terlihat didepan markas besar pasukan intelijen Militer Myanmar.

PM Khin Nyunt dicopot dari jabatannya dan mulai dikenai tahanan rumah malam itu juga. Namun, beritanya baru merembes keluar esok harinya dan dikonfirmasikan pemerintah Myanmar. "Khin Nyun disingkirkan dari posisinya," kata PM Thailand Thaksin Sinawatra kepada wartawan.

Menurut juru bicara pemerintah Thailand Jakrapob Penkair, dalam surat perintah pencopotan juga disebut, Khin Nyun terlibat korupsi dan tak layak tetap berada diposisinya. Namun, tambah Jakrapob, "masih tak jelas siapa yang menandatangani perintah itu."

Televisi dan radio Myanmar sama sekali tak memberitakan soal penahan itu. Menurut kantor berita Reuter, kedua media massa yang dikuasai pemerintah Yangon itu hanya menyebutkan bahwa Khin Nyunt sudah pensiun karena alasan kesehetan dan digantikan oleh Jendral Angkatan Darat Soe Win lewat pengangkatan yang ditandatangani orang kuat junta Jenderal Senior Than Shwe.

Tak ada berita kerusuhan dari Myanmar, negara terbesar di daratan Asia Tenggara. Diperkirakan negara itu akan melanjutkan hubungan baik di bidang diplomatik maupun perdagangan dengan Cina, Thailand, India, dan negara-negara lain yang tak mau mengikuti seruan Amerika Serikat untuk mengenakan sangsi internasional pada Myanmar. Kunjungan Jenderal Senior Than Shwi ke India yang baru saja berakhir mengindikasikan hal itu.

Militer Myanmar, yang sikapnya semakin kerasakibat perang selama lebih dari 50 tahun untuk menumpas pemberontakan berbagai kelompok etnik bersenjata di sepanjang daerah perbatasannya, diperkirakan juga akan terus mendukung kepemimpinan jenderal garis keras Than Shwi dan tangan kanannya, Jenderal Maung Aye.

***

Pencopotan dan penahan PM Khin Nyunt sungguh diluar dugaan. Melihat posisi dan peranannya selama ini, ia sebetulnya bukan tokoh yang pantas tersingkir atau disingkirkan dari jajaran kepemimpinan rezim militer Myanmar. Meski sebagian perwira tinggi lain mencemoohnya karena tak pernah bertugas digaris depan, ia tetap pemain kunci yang tak bisa diabaikan. Antara lain karena posisi yang sudah ia duduki selama 20 tahun sebagai Kepala Dinas Direktorat Intelijen pertahanan yang sangat berkuasa.

Khin Nyunt sungguh figur yang pas menjadi pimpinan dalam jajaran militer Myanmar yang dikenal brutal. Laki-laki berkacamata yang tak pernah tersenyum itu hampir selalu tampil dalam pakaian seragam militer Myanmarberwarna hijau Zaitun. Citra keras ini jauh dari gambaran seorang bintang film, profesi yang dulu sempat jadi cita-citanya.

Meski demikian, pemerintah dan para diplomatasing di Yangon menilainya sebagai salah seorang tokoh yang paling gampang dihubungi dan paling pantas duduk dalam jajaran kepemimpinan junta. Khin Nyunt adalah tipe pemimpin pragmatis dan pekerja keras, yang berperan merombak total kebijakan luar negri Myanmar. Juga berkat usaha seriusnya Myanmar akhirnya bisa diterima sebagai anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 1997.

Dalam urusan dalam negri, perannya juga tak main-main dalam membujuk hampir 20 kelompok etnik bersenjata penentang rezim, sampai mereka akhirnya bersedia menandatangani perjanjian gencatan senjata. Diantara kelompok-kelompok etnik minorita Myanmar yang utama, hanya tinggal kelompok suku Karen yang belum sempat melakukannya sampai saat Khin Nyunt dipecat.

Kesetiaannya kepada junta juga tak perlu diragukan, dan telah ia buktikan dalam berbagai kesempatan. Saat baru beberapa tahun menjabat sebagai kkepala intelijen militer, pada tahun 1988 Khin Nyunt ikut terlibat dalam kebijakan penindasan berbagai aksi demonstrasi rakyat Myanmar yang menentang kekuasaan militer. Diperkirakan , ratusan atau bahkan ribuan demonstran tewas ketika itu sebagai akibat tindakan penumpasan yang brutal, yang dilakukan tentara.

***

Namun, para pengamat politik Myanmar menilai Khin Nyunt sebagai tokoh paling moderat diantara para jenderal junta yang dikenal tak kenal kompromi. Sikap moderatnya langsung terlihat segera setelah ia menjadi perdana mentri, Agustus 2002. Ia mengajukan usulan tujuh langkah peta jalan menuju reformasi demokratik. Seruannya agar Sidang Nasional (national Convention) segera digelar kembali untuk menyusun rancangan konstitusi baru merupakan langkah pendahuluan Khin Nyunt dalam rangka pelaksanaan peta jalan menuju demokrasi (roadmap to democracy). Konvensi nasional ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1993, tetapi kemudian ditangguhkan pada tahun 1996.

Pemecatan Khin Nyunt kembali meredupkan harapan akan terjadinya reformasi dan berakhirnya kekuasaan militer di Myanmar. Tersingkirnya Khin Nyunt justru membuka jalan bagi Than Shwe dan para jenderal garis keras lain untuk merapatkan barisan dan memulihkan kekuasaan. Dengan Soe Win sebagai perdana mentri baru, artinya tiga posisi teratas dalam junta kini secara efektif semua diisi oleh para tokoh militer garis keras. Dominasi mereka merupakan kabar buruk bagi pemimpin prodemokrasi Aung San Suu Kyi, tahanan politik paling sohor diseluruh dunia, yang sudah tujuh tahun menderita sebagai tahanan rumah di Yangon.

Suu Kyi tetap bercita-cita membawa demokrasi ke Myanmar meski junta militer menghalangi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpinnya untuk memerinyah setelah meraih kemenangan mutlak dalam pemilihan umun (pemilu) tahun 1990.

Junta sering kali menuduh Suu Kyi sebagai boneka AS,Inggris, dan kekuatan-kekuatan asing yang ingin cuma mengeruk kekayaan alam Myanmar yang banyak belum dimanfaatkan. Namun Khin Nyunt dilaporkan justru setuju berunding dengan Suu Kyi. Sang jenderal setidaknya sudah dua kali bertemu dengan peraih penghargaan nobel itu dan menunjukan simpati dengan menyatakan, "saya pikir, ia seperti adik perempuan saja."

Para pengamat memperkirakan sikap moderat Khin Nyunt menimbulkan kekhawatiran pada diri Than Shwe, ketua junta militer yang disebut Dewan Perdamaian dan pembangunan Negara (State Peace and Development Council/SPDC). Pasalnya, perubahan ke arah demokrasi yang bakal dihasilkan sikap ini dapat mengancam keamanan masa depannya.

Menurut Dr Aung Kin, pakar sejarah Myanmar yang tinggal di London, pencopotan Khin Nyunt memang dapat dikaitkan dengan hasrat Than Shwe untuk mengamankan masa depannya. Dalam usianya yang sudah mencapai 71 tahun, Than Shwe telah melewati usia pensiun yang umum berlaku bagi para jenderal Myanmar. Namun, ia masih saja merisaukan masa depannya jika suatu kali harus pensiun dan tak lagi berkuasa.

"Seragam militer adalah hal yang sangat penting di Myanmar," kata Aung Kin. "Tanpa itu, Than Shwe akan kehilangan kekuasaan maupun keamanannya."

Kini Than Shwe sudah menyelesaikan masalahnya dengan menyikirkan elemen-elemen dalam tubuh intelijen militer yang dapat membahayakannya. Khin Nyunt ia pecat dan dikenai tahanan rumah bersama sejumlah perwira intelijen lainnya.

Bulan lalu Khin Nyunt sempat dipermalukan. Pasukan tentara reguler Myanmar dilaporkan melakukan penyerangan ke sebuah pos pemeriksaan daerah perbatasan Myanmar-Cina yang dikuasai para perwira intelijen militer yang tak lain adalah bagian dari anak buahnya. Di dalam pos pemeriksaan di daerah Muse itu, yang berlokasi sekitar 500 kilometer sebelah utara Yangon, ditemukan emas batangan, batu giok, dan uang tunai dalam jumlah besar.

Antara lain karena peristiwa itulah para analis politik Myanmar juga mengaitkan kejatuhan Khin Nyunt dengasn adanya persaingan bisnis yang tajam di antara faksi-faksi dalam tubuh militer Myanmar. Menurut mereka, pemecatan dan penahan PM Khin Nyunt secara gamblang menunjukan adanya perang ekonomi di antara faksi-faksi militer dan mengungkap merebaknya berbagai praktik koruosi di negara Asia Tenggara yang mengucilkan diri itu.

Pasukan Intelijen Myanmar(MI) yang dipimpin Khin Nyunt dikenal kejam. mereka diduga kuat menguasai pasar gelap dan uang hasil perdagangan obat bius Myanmar, negara penghasil opium terbesar kedua di dunia. Sudah lama Khin Nyunt dan jajaran MI-nya menjadi pesaing utama faksi militer garis keras yang setia pada jenderal nomor satu Than Shwe, yang diam-diam mengincar keberuntungan mereka.

"Mereka (anggota MI) telah bertindak seperti mafia," kata sebuah sumber yang dekat dengan kalangan intelijen militer Myanmar. Ditambahkan, mereka memanfaatkan status sebagai kesatuan elit untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah melimpah. Praktik-praktik korupsi MI terutama dilakukan di sepanjang daerah perbatasan, dimana penghasilan seorang tentara berpangkat sersan bisa jauh lebih tinggi dari penghasilan rekan-rekannya yang bertugas di daerah perkotaan.

Senin lalu dari Bangkok diberitakan bahwa terjadi peristiwa pemberangusan berbagai bisnis milik Khin Nyunt sendiri dan para kroninya. Jenis-jenis yang diberangus mulai dari bisnis bar, karoke hingga biro perjalanan dan surat kabar. Penutupan atau penghentian sementara bisnis Khin Nyunt ini dilakukan atas perintah pemimpin junta Than Shwe.

Jadi, jelas sudah bahwa Khin Nyunt adalah korban berganda Than Shwe.

Pertama, ia korban dari kekhawatiran Than Shwe akan keamanannya di masa depan. Kedua, ia juga korban persaingan bisnis yang kejam melawan para jenderal garis keras yang loyal pada jenderal senior.

Kompas, 02 September 2004

* Jenderal U Ne Win

Saat sang mentari di ufuk barat

Profil ne win, yang pada 1981 mengundurkan diri dari jabatan presiden. tahun 1988 mengundurkan diri dari jabatan ketua partai program sosialis burma. diduga ne win masih berperan dalam politik burma.
SUATU hari seorang putri Muangthai berkunjung ke Rangoon. Di sana, ia ditanya oleh Jenderal U Ne Win, "Apakah Anda percaya pada reinkarnasi?" Putri mengangguk, dan berkata, "Saya terbunuh bersama abang saya saat pasukan Burma menyerang Ayuthaya (ibu kota Muangthai pada 1767 -- Red.). Sebelum meninggal, saya bersumpah bahwa dalam kehidupan mendatang, jika saya ketemu lagi dengan abang saya, kami akan menghancurkan Burma."

Setelah melihat ke sekelilingnya tak ada orang lain di dekat mereka, Ne Win lalu berbisik kepada sang putri. "Sayalah abangmu yang terbunuh itu," kata Ne Win. "Saya sudah melakukan sumpah tersebut terhadap Burma."

Humor tentang Ne Win itu, yang semula merupakan guyon terbatas di kalangan diplomat di Rangoon, kini sudah beredar luas di seantero rakyat. Kedongkolan rakyat terhadap orang kuat Burma tersebut bukan tak beralasan. Sejak Ne Win mengambil alih kekuasaan, 26 tahun silam, dan menerapkan sistem sosialis ala Burma, ekonomi negeri yang pernah menjadi gudang beras Asia itu anjlok drastis. Burma berubah menjadi salah satu negara miskin di dunia.

Ketika, pekan lalu, Ne Win mengundurkan diri dari semua jabatan politik secara resmi. sekalipun kebencian terhadap dirinya berapi-api, keputusan orang kuat Burma itu cukup mengejutkan banyak orang.

Siapakah Ne Win? Lahir 24 Mei 1911, di Paungdale, Burma Tengah, oleh orangtuanya ia diberi nama Shu Maung -- yang berarti kesayangan. Tapi putra sulung keluarga pegawai negeri ini tak tergolong murid kesayangan di bangku sekolah. Nilai rapornya cuma pas-pasan untuk tidak tinggal kelas.

Awal 1930-an, ketika menjadi mahasiswa Universitas Rangoon, Shu Maung mulai tertarik pada dunia politik. Ia lalu bergabung bersama pemuda-pemuda nasionalis Burma lainnya dalam organisasi yang mereka beri nama Thankin. Shu Maung tidak termasuk tokoh menonjol.

Pada 1941, Shu Maung direkrut Jepang untuk menjadi tentara, dan dilatih di Cina. Sesaat sebelum menuju Cina, Shu Maung mengganti namanya menjadi Ne Win -- yang bermakna secemerlang mentari. Itulah awal karier militer Ne Win.

Sejak Burma merdeka pada 1948, hingga satu dasawarsa kemudian, Ne Win sama sekali tak ikut campur dalam masalah politik. Ia cukup puas menjabat menteri pertahanan. Ketika Burma, yang diperintah Perdana Menteri U Nu, terancam perang saudara pada 1958, Ne Win, yang sudah menyandang pangkat jenderal, mengambil alih kekuasaan. Tak lama setelah itu ia menyelenggarakan pemilihan umum, dan U Nu kembali terpilih sebagai PM.

Selang empat tahun kemudian, Ne Win, yang tak melihat pemerintahan U Nu melakukan perubahan apa-apa di Burma, melancarkan kudeta militer. Dewan Revolusi dibentuk. Keadaan darurat diberlakukan. U Nu ditangkap, dan kemudian dipenjarakan. Sejak itu Ne Win, yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Revolusi, menjadi orang Nomor I di Burma, dan memerintah dengan tangan besi.

Tahun 1963, Ne Win memberlakukan kebijaksanaan ekonomi baru: seluruh hasil produksi dan pendistribusiannya sampai soal ekspor dan impor ditangani oleh negara. Selain itu, ia juga menjalankan kebijaksanaan pintu tcrtutup guna menghindari campur tangan pihak asing. Ne Win yakin jalan yang ditempuhnya akan membuat persatuan menjadi kukuh. Karena itu, mereka yang mencoba menentang kemauan politiknya dipenjarakannya, dan ada juga yang langsung ditembak mati.

Ne Win pensiun dari dinas militer pada 1972. Tapi ia tetap berpengaruh kuat di kalangan angkatan bersenjata. Dua tahun kemudian jenderal purnawirawan yang gemar main golf ini -- konon itulah yang membuat Burma punya 100 lapangan golf diangkat sebagai presiden Burma.

Kesenangan Ne Win yang lain adalah wanita dan judi pacuan kuda. Tiap tahun, ia berlibur ke Eropa selama dua bulan untuk mengumbar kegemarannya, dan sekaligus mengunjungi anak-anaknya yang sekolah maupun mukim di luar Burma. Tak diketahui pasti jumlah anak Ne Win dari hasil tujuh kali perkawinannya yang akan dijadikannya sebagai tempat bergantung setelah turun dari panggung politik.

Tahun 1981, Ne Win mengundurkan diri dari jabatan presiden. Alasannya adalah menyangkut kesehatan dirinya. Kabarnya, ia mengidap penyakit ginjal dan jantung. Kendati demikian, ia tetap mencengkeram jabatan Ketua Partai Program Sosialis Burma -- satu-satunya partai di Burma -- dan menentukan kebijaksanaan pemerintah.

Bagaimana sekarang? Banyak yang menduga Ne Win masih memainkan peran di belakang layar sekalipun tak lagi menjabat ketua partai. Dugaan itu cukup berdasar. Alasan: "orang kuat' baru Burma, U Sein Lwin, pemimpin yang diorbitkan Ne Win.

F.S.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/08/06/LN/mbm.19880806.LN27860.id.html