Jumat, 25 Desember 2009

* Biarkan kyat menguap

Biarkan kyat menguap
Gelombang demonstrasi melanda beberapa wilayah di burma. bermula dari larangan penggunaan tiga jenis mata uang kyat yang dikenal juga sebagai demonetisasi. sekolah dan universitas ditutup.
KOTA Rangoon terasa lengang. Hanya beberapa toko kelontong yang buka, setelah ditutupnya semua sekolah dan kampus di Burma, Senin lalu. Sabtu sebelumnya, mahasiswa dari Universitas Rangoon dan Institut Teknologi Rangoon melakukan aksi unjuk rasa, melempari bis dan sedan yang lewat di depan kampus mereka. Gelombang demonstrasi yang kemudian meluas sampai ke beberapa wilayah lain bahkan menjangkau kota tua Mandalay di utara -- bermula dari larangan penggunaan tiga jenis mata uang kyat yang dikenal juga sebagai demonetisasi. Tak pelak lagi, beleid ini langsung menghantam ekonomi penduduk dan membuat mahasiswa meradang. Pemerintah menetapkan ketentuan bahwa hanya empat mata uang dengan nilai nominal 1, 5, 10, dan 15 kyat (15 kyat sama dengan 3.700 rupiah) yang boleh beredar. Ini berarti tiga mata uang yang bernilai lebih tinggi, yakni 25, 35, dan 75 kyat, bukan lagi alat tukar yang sah. Tanpa menghiraukan kerugian yang diderita penduduk -- pemotongan drastis itu ditetapkan tiba-tiba pemerintah masih berani menganakemaskan pegawai negeri dan kaum pensiunan. Mereka ini dinyatakan berhak menukarkan mata uang 25, 35, dan 75 kyat ke bank, sementara golongan penduduk lainnya tidak. Ini jelas lelucon yang tidak lucu, apalagi 80% dari uang yang beredar menguap begitu saja karenanya. Bagaimana mungkin? Semuanya bermula 10 Agustus lalu, ketika Ne Win, Ketua Partai Program Sosialis, menyerukan perlunya perbaikan ekonomi di depan sidang Komite Sentral Eksekutif. Maklum,'selama 25 tahun berkuasa, Burma boleh dibilang mengalami stagnasi ekonomi. Sebagai tindak lanjut, awal September lalu, Dewan Menteri menghapus semua larangan -- yang sudah berlaku selama 21 tahun -- yang mengatur perdagangan bebas untuk beras, jagung, dan kacang-kacangan. Dan ini diperkuat dengan keputusan yang sangat tidak populer itu, yakni menguapkan tiga mata uang. Tapi ini bukan yang pertama kali. Ne Win telah melakukan hal yang sama, 1985, ketika ia menarik dari peredaran mata uang 20, 50, dan 100 kyat (November 1985). Dan tindakan moneter serupa diperkenalkan Ne Win pertama kali tahun 1964, ketika ia baru dua tahun berkuasa. Untuk sementara, keadaan mereda, tapi bukan tidak mungkln aksi-aksi mahasiswa bisa menggoyahkan Ne Win. Sepanjang masa pemerintahannya, demonstrasi pekan lalu tercatat paling besar. Agar tidak meluas, Kementerian Pendidikan menutup sekolah dan kampus, serta memulangkan mahasiswa ke kampungnya masing-masing dengan kendaraan gratis. Ne Win, 76 tahun, menjalankan apa yang disebutnya "jalan Burma menuju sosialisme". Dengan alasan "berdikari", ia melakukan isolasi yang nyaris total. Burma, yang dulu terkenal dengan surplus beras, ekspor kayu jati, dan barang mineral (batu giok), kini ekonominya nyaris kocar-kacir. Bahkan termasuk negara di Asia yang rendah pertumbuhan ekonominya. Dampak kebijaksanaan Ne Win ini juga terasa di perbatasan Burma-Muangthai. Rak Tantisunthorn, Wakil Perdagangan Muangthai di Burma, menyebutkan bahwa para pedagang di wilayah perbatasan menderita kerugian sampai 40 juta baht (sekitar Rp 2 milyar. Menurut kalangan diplomat, Barat di Rangoon, tindakan Ne Win dimaksudkan untuk menghentikan beredarnya uang palsu di pasar gelap. Sekaligus juga menghantam penunggak pajak dan pemberontak di perbatasan Burma-Muangthai. Situasi di Rangoon kini terasa semakin tidak nyaman. "Keadaan yang lebih Darah bisa saja terjadi sewaktu-waktu," kata seorang pengamat. Masyarakat Burma kini cenderung melakukan barter. "Mereka tak percaya lagi pada nilai uang," kata seorang penduduk. Diduga kuat, tahun depan pemerintah bakal kelabakan memberi makan 38 juta penduduknya. Yulia S. Madjid, Laporan kantor-kantor berita

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1987/09/19/LN/mbm.19870919.LN32238.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar